Menanti Tanda-tanda Kekuasaan Allah di Akhir Zaman

“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi
dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam
masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah oleh kalian sesungguhnya kamipun menunggu (pula)’.” (Al-An’am: 158)

Penjelasan Makna Ayat 
 Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Pada hari datangnya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Rabbmu, yang merupakan kejadian yang
luar biasa, yang dengannya diketahui bahwa kehancuran telah demikian dekat, dan kiamat tidak
lama lagi. Maka tidak bermanfaat keimanan dari satu jiwa yang sebelumnya tidak beriman atau yang
belum membuahkan kebaikan dalam keimanannya, yakni apabila telah dijumpai sebagian tanda-
tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak bermanfaat keimanan seorang yang kafir
apabila dia hendak beriman
. Tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin yang kurang beramal
untuk semakin bertambah keimanannya setelah itu. Namun yang bermanfaat bagi dia adalah
keimanan yang dia miliki sebelum itu serta kebaikan yang dia miliki yang diharapkan (bermanfaat)
sebelum datangnya sebagian dari tanda-tanda tersebut. Dan hikmah dari semua itu jelas, di mana
keimanan yang mendatangkan manfaat adalah keimanan terhadap perkara yang ghaib, dan
merupakan pilihan dari seorang hamba (untuk beriman). Adapun bila tanda-tanda kekuasaan
tersebut telah nampak, maka telah menjadi perkara yang disaksikan (bukan ghaib), sehingga
keimanan tidak lagi berfaedah. Sebab, hal tersebut menyerupai keimanan yang terpaksa. Seperti
keimanan orang yang tenggelam, yang terbakar, dan orang-orang semisalnya yang apabila telah
melihat kematian, dia pun berusaha melepaskan apa yang dahulu dia yakini. Sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﻓَﻠَﻣﱠﺎ رَأَوْا ﺑَﺄْﺳَﻧَﺎ قَالُوا آمَنﱠا بِاِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا ﺑِﻣَﺎ ﻛُﻧﱠﺎ بِهِ مُشْرِكِيْنَ .فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيْمَانُهُمْ ﻟَﻣﱠﺎ رَأَوْا ﺑَﺄْﺳَﻧَﺎ ﺳُﻧﱠﺔَ ﷲِ الﱠتِي قَدْ خَلَتْ ﻓِﻲ عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُوْنَ
“Maka tatkala mereka melihat adzab Kami, mereka berkata: ‘Kami beriman hanya kepada Allah saja
dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.’ Maka
iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah
Allah yang telah berlaku atas hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu, binasalah orang-orang kafir.”
(Ghafir: 84-85)
Dan banyak hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan bahwa yang
dimaksud dengan sebagian dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah terbitnya matahari dari
tempat terbenamnya. Dan di saat manusia melihatnya, maka mereka pun beriman. Namun
keimanan mereka tidaklah bermanfaat dan telah tertutup pintu taubat atas mereka. Tatkala ini
merupakan janji yang dinanti terhadap orang-orang yang mendustakan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan mereka beserta para pengikutnya menantikan kehancuran dan musibah, maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyatakan: ‘Katakanlah: tunggulah (munculnya salah satu dari tanda
tersebut), sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang menunggunya,’ sehingga kalian akan
mengetahui siapa di antara kita yang lebih berhak mendapatkan keselamatan.” (Taisir Al-Karim Ar-
Rahman)
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama berkata: ‘Tidak bermanfaatnya keimanan
seseorang di kala terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, karena telah masuk ke dalam hati
mereka perasaan takut yang melenyapkan setiap syahwat hawa nafsunya dan melemahkan setiap
kekuatan dari kekuatan tubuhnya. Sehingga, manusia seluruhnya beriman karena mereka yakin akan
dekatnya hari kiamat. Seperti keadaan orang yang mendekati kematian, yang memutuskannya dari
berbagai dorongan melakukan perbuatan maksiat serta melemahkan tubuh-tubuh mereka.
Barangsiapa bertaubat dalam keadaan seperti ini tidaklah diterima taubatnya, seperti tidak
diterimanya taubat orang yang mendekati kematian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنﱠ ﷲَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ ﻣَﺎ لَمْ يُغَرْغِرْ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum
sampai ke tenggorokan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 1903)
Yaitu, selama ruhnya belum sampai ke ujung tenggorokan. Waktu itu merupakan saat di mana
seseorang melihat secara langsung tempatnya di dalam surga atau neraka. Maka orang yang
menyaksikan terbitnya matahari dari tempat terbenamnya juga seperti itu (keadaannya). Oleh
karenanya, sepantasnyalah setiap orang yang telah menyaksikan peristiwa tersebut atau yang
memiliki hukum yang sama dengan yang menyaksikannya, taubatnya tertolak selama hidupnya.
Sebab ilmunya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
janji-janji-Nya telah menjadi sesuatu yang terpaksa.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Ibnu Katsir rahimahullahu juga mengatakan: “Jika seorang kafir menampakkan keimanannya pada
saat itu, maka tidak diterima darinya. Adapun bila dia seorang mukmin sebelum hari itu, jika dia baik
dalam beramal, maka dia dalam kebaikan yang besar. Namun jika dia mengotori (imannya), lalu dia
bertaubat saat itu, maka tidak diterima taubatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Tertutupnya Pintu Taubat
Ayat yang mulia ini menjelaskan tentang akan munculnya suatu waktu di mana Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak lagi menerima taubat orang-orang yang hendak bertaubat di masa itu. Yaitu di kala
terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, yang menandakan akan berakhirnya zaman dan
bangkitnya hari kiamat. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan tentang penafsiran sebagian tanda-
tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa yang dimaksud adalah tanda-tanda hari kiamat
yang besar tersebut, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَﻼَثٌ إِذَا خَرَجْنَ ﻻَ يَنْفَعُ ﻧَﻔْﺳًﺎ إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ ﻓِﻲ إِيْمَانِهَا خَيْرًا؛ طُلُوْعُ الشﱠمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَالدﱠجﱠالُ، وَدَابﱠةُ اْﻷَرْضِ
“Ada tiga perkara yang jika telah muncul maka tidak bermanfaat keimanan seseorang yang tidak
beriman sebelum munculnya atau dalam keimanannya tidak membuahkan kebaikan; Terbitnya
matahari dari tempat terbenamnya, (munculnya) Dajjal, dan (keluarnya) daabbah (binatang melata
yang berdialog dengan manusia dan memberitakan kepada mereka akan dekatnya hari kiamat).”
(HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Az-Zaman Al-Ladzi la Yuqbalu fihi Al-Iman, 1/158)
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السﱠاعَةُ ﺣَﺗﱠﻰ تَطْلُعَ الشﱠمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا، فَإِذَا طَلَعَتْ وَرَآهَا النﱠاسُ آمَنَ مَنْ عَلَيْهَا فَذَاكَ حِيْنَ ﻻَ يَنْفَعُ ﻧَﻔْﺳًﺎ إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ ﻓِﻲ إِيْمَانِهَا خَيْرًا
“Tidak tegak hari kiamat hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya. Apabila telah terbit
demikian, dan manusia telah melihatnya maka merekapun beriman. Dan itu merupakan hari yang
tidak bermanfaat keimanan bagi satu jiwa, yang dia tidak beriman sebelumnya atau tidak
menghasilkan kebaikan pada keimanannya.” (HR. Al-Bukhari no. 4359 dan Muslim, 1/157)
Diriwayatkan juga dari Shafwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitakan:
أَنﱠ ﷲَ جَعَلَ بِالْمَغْرِبِ ﺑَﺎﺑًﺎ عَرْضُهُ مَسِيْرَةُ سَبْعِيْنَ ﻋَﺎﻣًﺎ لِلتﱠوْبَةِ، ﻻَ يُغْلَقُ ﻣَﺎ لَمْ تَطْلُعِ الشﱠمْسُ مِنْ قِبَلِهِ وَذَلِكَ قَوْلُ ﷲِ عَزﱠ وَجَلﱠ :}يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبﱢكَ ﻻَ يَنْفَعُ ﻧَﻔْﺳًﺎ إِيْمَانُهَا {اْﻵيَةَ
“Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat sebuah pintu taubat di sebelah barat yang luasnya
sejarak perjalanan 70 tahun, yang tidak akan ditutup selama matahari belum terbit dari tempat
tersebut.”
Dan itulah maksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبﱢكَ ﻻَ يَنْفَعُ ﻧَﻔْﺳًﺎ إِيْمَانُهَا
‘Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman…’.”(HR. At-
Tirmidzi no. 3536, dan beliau menshahihkannya serta dihasankan Al-Albani rahimahullahu)
Al-Imam Muslim rahimahullahu juga meriwayatkan dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhuma bahwa ia berkata: ‘Aku telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu
hadits yang tidak aku lupakan. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sesungguhnya tanda hari kiamat yang paling pertama keluar adalah terbitnya matahari dari tempat
terbenamnya’.”
Juga diriwayatkan dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda pada suatu hari: “Tahukah kalian ke mana perginya matahari ini?” Mereka (para
sahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau mengatakan: “Sesungguhnya
dia pergi ke tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu dia merendahkan diri sambil sujud. Senantiasa
dia dalam keadaan demikian hingga dikatakan kepadanya: ‘Terbitlah dari tempat yang engkau
kehendaki.’ Dia pun terbit dari tempat biasanya terbit. Lalu dia terus berjalan, dalam keadaan
manusia tidak terkejut sedikit pun akan hal itu. Sampai dia kembali berhenti lalu merendahkan diri
sambil sujud di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy. Dan manusia tidak terkejut sedikit pun dari hal
itu. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Terbitlah dari tempat terbenammu!’ Lalu terbitlah dia dari tempat
terbenamnya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian hari apa itu?”
Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau menjawab: “Itu adalah hari yang
tidak bermanfaat keimanan bagi satu jiwa yang tidak beriman sebelumnya atau keimanan yang
padanya tidak menghasilkan kebaikan.” (HR. Muslim, 1/159)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Ini merupakan riwayat-riwayat yang saling menguatkan
yang sepakat menunjukkan bahwa jika matahari terbit dari tempat terbenamnya, tertutuplah pintu
taubat dan tidak terbuka lagi. Dan hal tersebut tidak dikhususkan pada saat hari terbitnya (dari
tempat terbenamnya saja), namun terus berlanjut hingga hari kiamat.” (Fathul Bari, 11/354)
Pengingkaran Ahlul Bid’ah tentang Kejadian Ini
Seluruh riwayat ini menunjukkan bahwa kejadian ini pasti akan terjadi di akhir zaman. Dan tidak ada
yang mengingkarinya kecuali dari kalangan ahlul bid’ah, seperti Khawarij dan Mu’tazilah.
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata dalam Tafsir-nya setelah beliau menyebutkan hadits-hadits
tentang tanda-tanda hari kiamat tersebut: “Ini semua telah didustakan oleh kaum Khawarij dan
Mu’tazilah.” Lalu beliau menyebut atsar ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya rajam itu benar, maka janganlah kalian tertipu.
Dan hujjah yang menunjukkan hal tersebut bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menegakkan rajam, dan Abu Bakr pun telah merajam, dan sesungguhnya kami pun telah
melaksanakan rajam setelah mereka berdua. Dan akan muncul satu kaum dari kalangan umat ini
yang akan mendustakan rajam, mendustakan Dajjal, mendustakan terbitnya matahari dari tempat
terbenamnya, mendustakan adanya siksa kubur, mendustakan syafaat, mendustakan kaum yang
keluar dari neraka setelah mereka hangus terbakar.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-
Mushannaf, 7/13364, Ahmad, 1/23. Namun dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama ‘Ali
bin Zaid bin Jud’an, dia lemah karena hafalannya yang buruk)
Ibnu Abdil Barr rahimahullahu juga berkata dalam kitabnya At-Tamhid (23/98) setelah menyebutkan
atsar ini: “Seluruh Khawarij dan Mu’tazilah mendustakan enam perkara ini. Sedangkan Ahlus Sunnah
membenarkannya dan merekalah al-jamaah serta hujjah membantah orang-orang yang menyelisihi
Ahlus Sunnah.”
Pengingkaran Rasyid Ridha tentang Sujudnya Matahari di Bawah ‘Arsy
Di antara orang-orang yang mengingkari perkara ini adalah Muhammad Rasyid Ridha. Dalam
tafsirnya Al-Manar dia berkata setelah menyebutkan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tentang
sujudnya matahari di bawah ‘Arsy: “Hadits ini diriwayatkan oleh dua Syaikh (Al-Bukhari dan Muslim)
dari berbagai jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik, dari Abu Dzar. Dan dia –walaupun di-tsiqah-kan
oleh segolongan orang– adalah mudallis. Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: ‘Dia tidak bertemu
Abu Dzar.’ Seperti yang dikatakan Ad-Daruquthni rahimahullahu: ‘Dia tidak mendengar dari Hafshah
dan Aisyah, dan tidak menjumpai zaman keduanya.’ Dan seperti yang disebutkan oleh Ibnul Madini
rahimahullahu: ‘Dia tidak mendengar dari ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Hal itu
disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib. Dan telah diriwayatkan selain riwayat ini dari para sahabat
dengan cara ‘an’anah1, sehingga ada kemungkinan yang memberitakan kepadanya dari mereka
adalah orang yang tidak terpercaya. Maka, jika pada sebagian riwayat Shahihain dan kitab-kitab
Sunan berpenyakit seperti ini, ditambah lagi ada kemungkinan dimasuki kisah Israiliyat dan
kekeliruan penukilan secara makna, lalu bagaimana lagi dengan riwayat-riwayat yang ditinggalkan
oleh dua Syaikh (Al-Bukhari dan Muslim) dan yang ditinggalkan oleh periwayat kitab-kitab Sunan?”
Inilah perkataannya. (Tafsir Al-Manar, 8/211-212. Lihat kitab Asyrath As-Sa’ah, karya Yusuf bin
Abdillah Al-Wabil hal. 394)
Dan ini merupakan perkataan yang batil, yang dijadikan senjata oleh ahlul bid’ah untuk menolak
hadits-hadits yang shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menolak apa
yang telah menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Adapun jawaban terhadap syubhat Rasyid
Ridha adalah sebagai berikut:
Pertama: dalam hadits tersebut tidak terdapat riwayat Ibrahim bin Yazid At-Taimi dari Abu Dzar
radhiyallahu ‘anhu. Namun yang benar adalah riwayat Ibrahim bin Yazid At-Taimi dari ayahnya dari
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Dan ayahnya bernama Yazid bin Syarik At-Taimi Al-Kufi. Beliau
meriwayatkan hadits secara langsung dari para shahabat, di antaranya: ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Ali
bin Abi Thalib, Abu Dzar, Ibnu Mas’ud dan yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau adalah seorang
perawi yang tsiqah.
Kedua: dalam riwayat tersebut, Ibrahim bin Yazid telah menyebutkan secara jelas bahwa beliau
mendengarkan hadits secara langsung dari ayahnya tanpa perantara. Sebagaimana yang disebutkan
dalam riwayat Muslim, dia mengatakan: “Dari Ibrahim bin Yazid At-Taimi bahwa dia mendengar –
sebagaimana yang aku ketahui– dari ayahnya, dari Abu Dzar.” Maka hilanglah persangkaan tuduhan
tadlis dalam riwayat tersebut.
Oleh karena itu, para ulama Ahlus Sunnah terus menerima hadits ini tanpa ada penolakan dari
mereka. Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullahu berkata ketika menjelaskan hadits Abu Dzar
tersebut: “Pada perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Tempat menetapnya di bawah Arsy’,
kita tidak mengingkari bahwa matahari memiliki tempat menetap di bawah ‘Arsy, dari sisi yang kita
tidak mampu menjangkaunya, tidak bisa kita saksikan. Dan sesungguhnya bila kita dikabarkan
tentang perkara ghaib, maka kita tidak mendustakannya dan tidak menanyakan bagaimana, sebab
ilmu kita tidak mampu menjangkaunya.”
An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Adapun tentang sujudnya matahari, itu adalah sebuah
jangkauan ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah ciptakan padanya.” (lihat Asyrath As-Sa’ah,
karya Yusuf Al-Wabil hal. 385)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita sekalian dari penyimpangan yang menyesatkan.
Wallahu a’lam bish-shawab. 


0 comments:

Posting Komentar

Komentar anda akan dihapus jika :
1. SPAM atau meninggalkan komentar mengandung unsur SARA
2. Berkata kasar atau kata-kata negatif lainnya
3. Meninggalkan komentar dengan link hidup
4. Komentar tidak berhubungan dengan tema
5. Jika anda ingin berlangganan "komentar" dari artikel ini, pilih link "Subscribe by email" pada bagian bawah form komentar