Peradaban Ilmu Islam


Sekarang ini, banyak umat Islam yang tidak mengenali lagi peradabannya sendiri. Bahkan, sebahagian pemikir dan intelektual Muslim bangga dengan peradaban dan pemikiran yang didapatkan dari Barat. Bahkan, institusi pendidikan tinggi pun kini banyak yang menerapkan pemikiran orientalis ke dalam pengajian Islam. Fenomena untuk menerapkan cara berfikirposmodernisme yang mengusung doktrin liberalisme, pluralisme, relativisme, nihilisme, feminisme-gender, humanisme, dan sebagainya telah banyak diagung-agungkan.

''Padahal, peradaban Barat itu tidak jelas asal usulnya..''
kata Dr Hamid Fahmy Zarkasy kepada Republika.

Ia mengatakan, sudah saatnya umat Islam menelaah kembali cara berfikir yang komprehensif tentang peradaban Islam. Tegasnya,''Sebab, peradaban Islam itu adalah peradaban ilmu. Ia sangat kuat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat tinggi!''
Berikut pertuturan Direktor Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Jakarta ini.




Saat ini, tampaknya peradaban Islam secara perlahan-lahan mulai kehilangan rohnya (spirit). Umat Islam seakan bangga dengan peradaban yang berbau Barat. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?

Anda benar. Sebab, arus modernisme dan posmodernisme yang mengalir ke dunia Islam bersamaan dengan globalisasi yang telah mengakibatkan proses desakralisasi ilmu. Ini di antaranya merupakan akibat dari apa yang disebut oleh Weber sebagai disenchantment of nature dan deconsencration of value. Keduanya merupakan inti dari doktrin sekularisme. Dengan sekularisme, Muslim kehilangan spiritualiti dalam berbagai bidang yang kemudiannya kehilangan moraliti (adab). Moraliti kini tidak diukur dengan wahyu, tapi dengan pendapat umu dan dengan ukuran moraliti Barat yang diklaim sebagai universal itu. Bukan hanya itu, meski sekularisme telah banyak mengubah cara berfikir Muslim, Barat masih terus berusaha membaratkan Muslim.
Kini, Barat menghembuskan arus baru yang disebut liberalisme danliberalisasi. Dengan doktrin ini, Muslim menjadi rela meninggalkan autoriti, moraliti, dan tradisi intelektual-spiritual Islam sehingga Muslim berpaling kepada 'kehebatan' peradaban dan pemikiran Barat. Kini, dunia Islam dikuasai oleh peradaban material dan hedonisme. Rasionalismeempirisme,dan skeptisisme menjadi standard berfikir Muslim dan spiritualisme disingkirkan.


Apakah pandangan ini karena adanya pemutarbalikan fakta atau sejarah tentang peradaban Islam oleh Barat?

Bukan karena pemutarbalikan fakta, tapi pencampuran konsep-konsep Barat dengan konsep-konsep Islam atau masuknya konsep-konsep Barat ke dalam pemikiran Islam. Hal ini terjadi kerana Muslim diyakinkan bahwa antara Islam dan Barat tidak memiliki perbezaan yang penting sehingga yang terpengaruh(westernized) tidak melihat adanya kekeliruan akibat percampuran itu. Muslim yang westernized menjadi enggan merujuk kepada masa lalu mereka sebagai pelajaran, tapi (anehnya) sangat bersemangat belajar dari masa lalu Barat.


Mengapa lembaga pendidikan tinggi, seperti IAIN (Institut Agama Islam Negeri)  atau UIN (Universitas Islam Negeri), banyak dipandang sebagai sarang atau tempat berkembangnya pola pemikiran Barat? Bahkan, mahasiswa Islam seakan bangga bila mengadopsi pemikiran Barat dibandingkan pemikiran tokoh-tokoh Muslim. Mereka bangga dengan faham sekularisme, liberalisme, dan lain sebagainya. Menurut Anda?

Mungkin kerana di beberapa IAIN, STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), dan UIN terdapat fenomena di kalangan pensyarah ataupun mahasiswa yang berusaha menerapkan pemikiran orientalis ke dalam studi Islam. Lebih umum lagi, fenomena untuk menerapkan cara berfikir postmodernisme itu mengusung doktrin liberalisme, pluralisme, relativisme, nihilisme, feminisme-gender, humanisme, dan sebagainya. Faktanya, kecenderungan membaca ajaran Islam dari perspektif liberal, pluralisme, gender, dan sebagainya memang ada berbanding membaca konsep-konsep Barat dari kacamata atau visi keislaman.
Bahkan, yang tidak dapat ditutupi lagi adalah adanya kebanggaan di kalangan mahasiswa perguruan tinggi Islam untuk menyebut dan menerapkan konsep-konsep pemikir Barat. Di situ, tokoh-tokoh Barat, seperti Descartes, Kant, Francis Bacon, Derrida, Peter Berger, Emilio Betti, Paul Ricour, Gadamer, Habermas, dan lainnya, dirujuk secara apresiatif. Sedangkan, cendekiawan Muslim, seperti al-Amidi, al-Suyuthi, al-Tabari, al-Ghazali, al-Razi, Imam Syafii, Ibn Maskawayh, Ibn Taimiyah, dan lainnya hanya dikaji dengan sangat kritis.
Ini memang bukan generalisasi yang valid, tapi kesedaran bahwa ini merupakan fenomena yang kurang menguntungkan bagi pembangunan peradaban Islam yang perlu ditimbulkan. Di kalangan cendekiawan Muslim di Indonesia, memang telah terdapat pendapat bahwa untuk dapat maju, Muslim harus belajar dari Barat dan meniru Barat. Jadi, tidak hairan jika ada Muslim yang bangga menjadi liberal dan sekular.


Bagaimana sesungguhnya peradaban Islam itu?

Pertanyaan Anda adalah pertanyaan yang fenomenal. Pertanyaan ini tidak pernah muncul di zaman al-Ghazali, misalnya. Sebab, peradaban Islam saat itu begitu dominan. Pertanyaan ini memang harus muncul sekarang ini kerana arus globalisasi, liberalisasi, dan westernisasi telah menghilangkan berbagai identiti, termasuk identiti peradaban Islam.
Tidak sedikit umat Islam yang tidak lagi mengenali peradabannya sendiri. Substansi peradaban Islam ibarat pohon (syajarah) yang akarnya tertanam kuat di bumi, dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit, dan memberi rahmat bagi alam semesta (Lihat Alquran surah Ibrahim 24-25). Akar itu adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi epistemologis. Karena faktor ilmu yang bersumber dari konsep-konsep seminal dalam Alquran, peradaban pun berkembang. Dari pemahaman terhadap Alquran, lahirlah tradisi intelektual Islam. Dari tradisi yang membentuk komunitas itu, lahirlah konsep-konsep keilmuan dan akhirnya disiplin keilmuan Islam. Dari ilmu, lahirlah sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya Islam. Jadi, peradaban Islam adalah peradaban ilmu.


Lalu, adakah upaya yang bisa dilakukan untuk meluruskan pandangan tersebut?

Maksudnya untuk memahami kembali identiti tersebut? Ya, dengan menjejak atau menelusuri kembali konsep-konsep kunci dalam Islam. Ertinya, kita harus mencari dan mendefinisikan semula konsep-konsep penting dalam Islam yang relevan dan dituntut masyarakat sekarang. Selain itu, konsep-konsep Islam yang telah tercampur dengan konsep-konsep Barat itu perlu dibersihkan  secara epistemologis. Ini jangan diertikan sebagai anti-Barat. Sebab, ini adalah suatu proses wajar dalam setiap peradaban. Barat sendiri ketika mentransfer ilmu pengetahuan Islam di abad pertengahan juga melakukan hal yang sama.


Lalu, apa saja tentangan pemikiran Islam kontemporeri sekarang ini?

Tentangan pemikiran kita ada dua. Pertama, negasi (penolakan). Kedua, afirmasi (pernyataan). Negasi ertinya melakukan penolakan konsep-konsep asing yang bertentangan dan merosak peradaban Islam. Ini bukan hanya sekadar menolak atau membuang, tapi juga memproses secara epistemologis bagaimana cara menghilangkan konsep-konsep itu dari alam fikiran Muslim. Maka dari itu, kajian kritis Barat dalam bentuk oksidentalisme diperlukan. Tidak salah pula jika kita belajar dari Barat sendiri bagaimana mereka mengkritik konsep-konsep yang tidak dapat diterima nalar. Seperti kritikan PP Grasse dalam L'homme Accusation yang mengkritik teori evolusi Darwin atau Oswald Spengler dalam The Decline of The West.
Afirmasi adalah melakukan identifikasi konsep-konsep penting dalam Islam. Logika sederhananya, kalau Muslim menolak konsep-konsep Barat atau asing lainnya, Muslim harus dapat memberikan alternatifnya. Sebab, umat Islam sekarang sudah merasa enjoy dengan konsep-konsep dan sistem pemikiran dan peradaban Barat. Mengkritik Barat sekarang ini seperti mengkritik saudara kita sendiri. Begitulah keadaannya.


Dari mana sesungguhnya pola pemikiran dan peradaban Barat itu? Benarkah dia berasal dari Yunani? Siapakah tokoh utama pemikir Barat yang mulai memutarbalikkan sejarah ini?

Barat itu peradaban yang tidak jelas asal usulnya. Ertinya, tidak berasal dari satu sumber atau satu tempat kelahiran. Barat adalah peradaban yang cara berfikirnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani, sistem hukumnya diilhami oleh Romawi, cara hidupnya didasari oleh tradisi bangsa-bangsa Eropah yang berbeza-beza, seperti Jerman, Perancis, Inggris, Celtic, dan sebagainya. Sedangkan, kepercayaannya dipengaruhi oleh agama Kristian dan Yahudi.
Kita tidak bisa menyebut tokoh karena mana yang mentransfer dan membaratkan pemikiran Islam. Ini adalah kerja massal (secara kolektif). Sekadar contoh saja, David Hume yang menolak kausalitas itu telah meniru pemikiran al-Ghazali. Tapi, pemikiran al-Ghazali yang menyebutkan adanya faktor X, iaitu kehendak Tuhan dalam kausalitas itu dihilangkan. Di antaranya, dari sini kemudian sains (Barat) berkembang tanpa melibatkan teologi atau kebenaran transenden.


Peradaban Islam pernah berjaya. Sejak bila era itu dimulai? Contohnya seperti apa?

Kejayaan peradaban Islam yang sebenarnya terjadi sejak Nabi berhasil mendirikan negara Madinah. Kemudian, mencapai puncak kejayaannya ketika konsep-konsep seminal dalam Alquran ditafsirkan dan dikembangkan menjadi disiplin ilmu dengan tradisi intelektual yang begitu semarak. Itu bermula dari zaman kekhalifahan Umayyah di Damaskus dan juga di Cordoba serta dilanjutkan zaman kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Contoh kejayaan itu dapat dilihat dari bermunculannya ilmuwan-ilmuwan Muslim dalam berbagai disiplin ilmu dengan karya-karyanya yang monumental.
Seiring dengan berkembangnya ilmu itu, berkembang pula kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan agama. Masyarakat menjadi sejahtera lahir dan batin. Dalam kehidupan publik, sejarawan mencatat bahawa ketika London gelap gulita di malam hari dan di Perancis becak di waktu hujan, di Cordoba dan Baghdad jalan-jalannya mulus dan di malam hari terang benderang. Koleksi buku seorang ulama di Baghdad mencapai 400 ribu judul, sementara isi perpustakaan raja Perancis hanya 400 judul buku.


Bagaimana caranya agar umat Islam sekarang mengembalikan kejayaan Islam itu? 

Kejayaan peradaban Islam dapat dikembalikan dengan menghidupkan lagi tradisi intelektual dan keilmuan Islam yang sekarang tampak meredup. Dikatakan meredup karena karya-karya Muslim belum mencapai tingkat produktivitas dan kualitas yang tinggi dan yang dapat dimanfaatkan seluas-luasnya oleh peradaban lain. Tradisi intelektual dan keilmuan Islam yang kuat akan menghasilkan konsep-konsep yang kuat pula. Kuat landasan teorinya dan kuat metodologinya.
Cendekiawan Muslim tidak dapat melakukan hal itu, kecuali menguasai ilmu pengetahuan Islam dan juga ilmu pengetahuan asing, baik dari Barat, Cina, maupun Jepun. Namun, penguasaan ilmu pengetahuan Islam perlu didahulukan. Karena, dengan itu, Muslim dapat melakukan proses adapsi dan bukan adopsi buta terhadap konsep-konsep dari ilmu pengetahuan asing tersebut. Jika proses itu dibalik, yang terjadi bukan mengembalikan kejayaan peradaban Islam, tapi justru menjadikan peradaban Islam terpuruk di bawah hegemoni pengetahuan asing seperti saat ini. Yang lahir bukan peradaban Islam, tapi peradaban asing, seperti Barat.

Sumber : http://serambi-ilmu.blogspot.com

0 comments:

Posting Komentar

Komentar anda akan dihapus jika :
1. SPAM atau meninggalkan komentar mengandung unsur SARA
2. Berkata kasar atau kata-kata negatif lainnya
3. Meninggalkan komentar dengan link hidup
4. Komentar tidak berhubungan dengan tema
5. Jika anda ingin berlangganan "komentar" dari artikel ini, pilih link "Subscribe by email" pada bagian bawah form komentar